Oleh: Asep Andri
Salah dan
benar, konsep yang lacur kondang dalam laku bahasa kita. Pada sebuah obrolan
kecil, sambil menunggu dosen yang mungkin sedang ber-istikharoh untuk masuk kelas atau tidak, dua teman laki-laki yang
duduk di samping saya nampak asyik membicarakan tentang cara menentukan tingkatan
kecantikan seorang wanita. Salah satunya berpendapat bahwa kecantikan seorang
wanita bisa dilihat dari facebook-nya:
semakin banyak temannya di facebook,
maka semakin cantik. Mungkin anda tidak setuju dan kemudian anda menyalahkan
pendapat teman saya, mungkin pula anda
setuju, lantas membenarkannya. Begitulah, konsep salah dan benar nampak rumit
untuk diseragamkan, serumit bagaimana menentukan wanita tercantik di kampus ini,
terlebih bagaimana mendapatkannya.
Pada
kenyataannya, setiap manusia memiliki takarannya sendiri perihal bagaimana membenarkan dan menyalahkan sesuatu. Takaran
tersebut ditentukan oleh berbagai hal yang mungkin menjadi kerangka rujukannya,
seperti buku bacaan, pergaulan, pendidikan, unsur psikologis dan lainnya. Men-seragamkannya
adalah sesuatu yang tidak mungkin, bahkan akan berdampak besar, meminjam
kalimat pada kasus Century, mungkin ini akan berdampak sistemik. Bisa
dibayangkan jika semua orang di muka bumi ini membenarkan bahwa saya orang yang
ganteng, baik dan sempurna seperti apa yang saya impikan, berapa orang yang
mesti diganjar dosa karena fitnah tersebut. Artinya, perbedaan pendapat
mengenai salah dan benar tetap harus terjadi demi terciptanya dialektika,
pertukaran informasi, dan perbandingan. Olehkarena itu, jika suatu saat ada teman
yang mengatakan anda jelek dan bodoh, sebelum anda marah, sempatkan anda untuk menentukan,
apakah itu salah atau benar. Jika itu salah, silahkan marah, namun jika itu
memang benar, nampaknya teman anda sekedar ingin mengingatkan.
Banyak
hal yang mempengaruhi tendensi kita terhadap penilaian salah dan benar, salah
satunya adalah kebiasaan. Sesuatu yang salah jika kita terbiasa menganggap benar,
tanpa disadari kita lantas turut membenarkannya, begitupun sebaliknya. Berapa
orang yang kemudian percaya bahwa warna pelangi hanya merah, kuning, hijau dan ada di
langit yang biru, padahal kita tahu bahwa pelangi memiliki banya warna dan
terjadi ketika hujan reda. Atau kita terlanjur setuju bahwa ternyata bintang kecil bisa kita lihat di langit yang biru, dalam kenyataannya,
pada siang hari mustahil untuk menikmati kerlip bintang. Itu semua sulit untuk kita yakini sebagai sesuatu yang benar,
sesulit meyakini bahwa film warkop memang ditujukan untuk usia 17+ (Tujuah
belas tahun ke atas) atau Film India akan laris meski tanpa berjoget dan bernyanyi, walaupun kita
sepakat bahwa permasalahan sebenarnya tidak akan selesai oleh keduanya. Inilah
yang kemudian yang membuat saya yakin bahwa takaran salah dan benar adalah
sesuatu yang relatif. Olehkarena itu, sikap ragu dan hati-hati sangat
dibutuhkan ketika mempercayai sesuatu sebagai kebenaran, terlebih kepada orang yang menyebut anda cakep dan pintar.
Dengan
kesadaran bahwa konsep benar dan salah adalah sesuatu yang relatif, akan
membuat kita menjadi lebih dewasa. Kita berhak memandang hal secara hitam-putih
semacam itu, namun semestinya diimbangi oleh kesadaran bahwa diluar takaran
saya, ada takaran orang lain yang juga harus kita hargai dan apresiasi. Inilah
yang membuat kita lebih bijaksana dalam menjalani hidup. Mungkin.
Bicara
tentang kebijaksanaan, Sebelum kelas saya benar-benar bubar karena dosen
akhirnya memutuskan tidak masuk, dengan ketulusan dan kejujuran, temanku yang
satunya lantas mengeluarkan teori, bahwa kecantikan seorang wanita bisa dilihat
dari responnya ketika kita ‘menembaknya’: semakin wanita itu menolaknya dengan
keras, maka wanita itu semakin cantik. (hehe,,). []