Kamis, 19 April 2012

Salah dan Benar


Oleh: Asep Andri
Salah dan benar, konsep yang lacur kondang dalam laku bahasa kita. Pada sebuah obrolan kecil, sambil menunggu dosen yang mungkin sedang ber-istikharoh untuk masuk kelas atau tidak, dua teman laki-laki yang duduk di samping saya nampak asyik membicarakan tentang cara menentukan tingkatan kecantikan seorang wanita. Salah satunya berpendapat bahwa kecantikan seorang wanita bisa dilihat dari facebook-nya: semakin banyak temannya di facebook, maka semakin cantik. Mungkin anda tidak setuju dan kemudian anda menyalahkan pendapat teman saya,  mungkin pula anda setuju, lantas membenarkannya. Begitulah, konsep salah dan benar nampak rumit untuk diseragamkan, serumit bagaimana menentukan wanita tercantik di kampus ini, terlebih bagaimana mendapatkannya.
         Pada kenyataannya, setiap manusia memiliki takarannya sendiri perihal bagaimana  membenarkan dan menyalahkan sesuatu. Takaran tersebut ditentukan oleh berbagai hal yang mungkin menjadi kerangka rujukannya, seperti buku bacaan, pergaulan, pendidikan, unsur psikologis dan lainnya. Men-seragamkannya adalah sesuatu yang tidak mungkin, bahkan akan berdampak besar, meminjam kalimat pada kasus Century, mungkin ini akan berdampak sistemik. Bisa dibayangkan jika semua orang di muka bumi ini membenarkan bahwa saya orang yang ganteng, baik dan sempurna seperti apa yang saya impikan, berapa orang yang mesti diganjar dosa karena fitnah tersebut. Artinya, perbedaan pendapat mengenai salah dan benar tetap harus terjadi demi terciptanya dialektika, pertukaran informasi, dan perbandingan. Olehkarena itu, jika suatu saat ada teman yang mengatakan anda jelek dan bodoh, sebelum anda marah, sempatkan anda untuk menentukan, apakah itu salah atau benar. Jika itu salah, silahkan marah, namun jika itu memang benar, nampaknya teman anda sekedar ingin mengingatkan.
          Banyak hal yang mempengaruhi tendensi kita terhadap penilaian salah dan benar, salah satunya adalah kebiasaan. Sesuatu yang salah jika kita terbiasa menganggap benar, tanpa disadari kita lantas turut membenarkannya, begitupun sebaliknya. Berapa orang yang kemudian percaya bahwa warna pelangi hanya merah, kuning, hijau dan ada di langit yang biru, padahal kita tahu bahwa pelangi memiliki banya warna dan terjadi ketika hujan reda. Atau kita terlanjur setuju bahwa ternyata bintang kecil bisa kita lihat di langit yang biru, dalam kenyataannya, pada siang hari mustahil untuk menikmati kerlip bintang. Itu semua sulit untuk kita yakini sebagai sesuatu yang benar, sesulit meyakini bahwa film warkop memang ditujukan untuk usia 17+ (Tujuah belas tahun ke atas) atau Film India akan laris meski tanpa berjoget dan bernyanyi, walaupun kita sepakat bahwa permasalahan sebenarnya tidak akan selesai oleh keduanya. Inilah yang kemudian yang membuat saya yakin bahwa takaran salah dan benar adalah sesuatu yang relatif. Olehkarena itu, sikap ragu dan hati-hati sangat dibutuhkan ketika mempercayai sesuatu sebagai kebenaran, terlebih kepada  orang yang menyebut anda cakep dan pintar.
          Dengan kesadaran bahwa konsep benar dan salah adalah sesuatu yang relatif, akan membuat kita menjadi lebih dewasa. Kita berhak memandang hal secara hitam-putih semacam itu, namun semestinya diimbangi oleh kesadaran bahwa diluar takaran saya, ada takaran orang lain yang juga harus kita hargai dan apresiasi. Inilah yang membuat kita lebih bijaksana dalam menjalani hidup. Mungkin.
           Bicara tentang kebijaksanaan, Sebelum kelas saya benar-benar bubar karena dosen akhirnya memutuskan tidak masuk, dengan ketulusan dan kejujuran, temanku yang satunya lantas mengeluarkan teori, bahwa kecantikan seorang wanita bisa dilihat dari responnya ketika kita ‘menembaknya’: semakin wanita itu menolaknya dengan keras, maka wanita itu semakin cantik. (hehe,,). []